Said Bin Amir “PEMILIK KEBESARAN DI BALIK KESEDERHANAAN”


            Ia adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. Ia adalah salah seorang yang taqwa dan tak hendak menonjolkan diri, ia tak prnah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah. Tetapi itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut meng­ambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun dalam kancah peperangan.

            Said Bin Amir menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Dan semenjak itu ia memeluk Islam dan bai’at kepada Rasulullah saw. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita‑citanya dibaktikan kepada keduanya. Maka ketaatan dan kepa­tuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, segala sifat dan tabi’at utama, mendapati manusia suci dan baik ini sebagai saudara kandung dan teman yang setia.
            Dan ketika para sahabat berusaha hendak menemui Said Bin Amir, mereka bersikap hati-hati dan waspada, karena sewaktu pandangan tertuju padanya dalam kumpulan orang banyak, tidak suatu pun ke­istimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat Said Bin Amir sebagai salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu dan berambut yang kusut masai, yang baik pakaian maupun bentuk lahir Said Bin Amir tak sedikit pun bedanya dengan golongan miskin lainnya dari Kaum Muslimin. Seandainya yang dijadikan ukuran itu pakaian dan rupa lahir, maka takkan dijumpai petunjuk yg akan menyatakan siapa sebenarnya Said Bin Amir.
            Kebesaranya lebih mendalam dari pada yang mncul dipermukaan lahir yg kemilau. la jauh tersembunyi disana, dibalik kesederhanaan dan kesahajaannya. Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Dan sistem yg digunakan Umar utk memilih pegawai merupakan suatu sistem yang me­ngandung segala kewaspadaan dan pemikiran yang matang. Sebabnya ialah karena ia menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat yang jauh sekalipun, maka yang akan ditanya oleh Allah swt. ialah dua orang, pertama Umar dan kedua baru penguasa yang melakukan kesalahan itu.
            Di Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan disana sebelum datangnya Islam meng­ikuti peradaban yang berganti, maka menurut pendapat Umar, “tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan syetan manapun”.
Seorang Zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah, Tiba-tiba Umar berseru, katanya:
“Saya telah menemukan­nya …! Bawa ke sini Sa’id bin ‘Amir … !“
            Tak lama antaranya datanglah Sa’id mendapatkan Amirul Mu’­minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs, tetapi Sa’id menyatakan keberatannya,
katanya: “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu’minin … !“ Dengan nada keras Umar menjawab: “Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan anda!” 
Said berkata : “Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku”.
            Dalam sekejap saat, Sa’id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu. Sungguh hal yg tidak adil namanya bila mereka me­ngalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sendirian, dan seandainya seorang seperti Sa’id bin ‘Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yg akan membantu khalifah Umar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar